Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ الرَّحِمُ شُجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللَّهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya: “Orang-orang yang memiliki sifat kasih sayang akan disayang oleh Allah yang Maha Penyayang, sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada dilangit akan menyayangimu. Kasih sayang itu bagian dari rahmat Allah, barangsiapa menyayangi, Allah akan menyayanginya. Siapa memutuskannya, Allah juga akan memutuskannya.” (HR. Tirmidzi No. 1847)
Dari hadits ini Rasulullah SAW memerintahkan bahwa kita sebagai umatnya harus saling menyayangi. Bukan hanya saling menyayangi sesama manusia, namun juga hewan-hewan juga segala sesuatu yang ada di bumi.
Seseorang yang saling merahmati atau saling menyayangi sudah tentu akan di rahmati oleh Allah di dunia, bahkan dirahmati pula di akhirat kelak. Bahkan dalam hadist seseorang yang memberi minum seekor anjing hewan yang sangat dikenal dengan kenajisannya pun akan dirahmati oleh Allah, seperti dalam sabda Nabi ﷺ berikut ini:
قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ، إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ، فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَسَقَتْهُ، فَغُفِرَ لَهَا بِهِ
Artinya: “Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari Bani Israil, maka wanita terhebut melepaskan khuf nya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu.” (HR. Bukhari No. 3467 dan Muslim No. 2245)
Jika menyayangi seekor hewan saja sudah membuat segala rahmat dan kasih sayang Allah tercurah, bagaimana dengan saling menyayangi sesama manusia bahkan dengan segala ciptaan Allah yang ada di bumi ini?
Perintah Allah untuk saling menyayangi ini bersifat umum dan tidak pandang bulu. Namun, kebiasaan kita sebagai manusia adalah selalu menjudge seseorang yang selalu maksiat atau lalai dalam menjalankan perintah Allah dalam kehidupannya. Bukankah seharusnya kita merangkulnya ketika ia terjerumus dalam kehidupan yang penuh dengan kegelapan di dunia? Apakah hati ini tidak tergerak untuk berdakwah kepadanya dan merangkulnya untuk kembali ke jalan yang benar?
Manusia itu tempatnya lupa dan salah. Sampai-sampai ia sering lupa merasa bersalah dan sering menyalahkan. Bukan kah begitu? Maka dari itu kita sebagai manusia semestinya berusaha untuk menebarkan rahmat dan kasih sayang meskipun kepada pelaku kemaksiatan. Jangan segan untuk mendekatinya untuk mendakwahinya dan mengajaknya kembali kejalan yang benar dengan kasih sayang.
Ada kisah menarik mengenai sikap kasih sayang dari seorang pemikir Islam dan ulama Islam dari Harran, Turki, yaitu Abdul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyyah al-Harrani atau lebih dikenal Ibnu Taimiyah terhadap para pelaku bid’ah. Ia adalah Syaikhul Islam Ibnu Timiyyah rahimahullah dikenal sebagai ulama pembantah bid’ah. Sehingga banyak ahlul bid’ah yang memusuhi beliau. Bahkan para ahlul bid’ah itu berfatwa kepada raja mereka untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Namun, Ibnu Taimiyyah tidak pernah berfikir bahwa beliau akan membalas perbuatan mereka terhadapnya.
Dalam kitab Al-Bidaayah wa An-Nihaayah karya Ibnu Katsir menceritakan tentang Ibnu Timiyyah dalam menghadang kaum bid’ah. Sulthan An-Nashir Ibn Qolawuun adalah seorang raja ahlul bid’ah. Ia memiliki banyak para petinggi di kalangan ahlul bid’ah dan para petinggi nya yang selalu berfatwa kepada nya untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Namun, Sulthan tidak membunuh Ibnu Taimiyyah melainkan hanya memenjarakannya. Dan pada suatu saat datanglah Al-Jaasyinkir yang merebut kekuasaan Sulthan. Sehingga pada akhirnya seorang petinggi ahlul bid’ah pengikut Sulthan berkhianat dan membai’at Al-Jaasyinkir dan membuat Sulthan murka terhadapnya. Namun, pada akhirnya Sulthan pun berusaha mengambil alih kembali kekuasaanya dan berhasil. Lalu para petinggi ahlul bid’ah pun yang awalnya berkhianat kini kembali kepada Sulthan. Dan Sulthan menyadari bahwa mereka hanyalah para penjilat kekuasaannya. Akhirnya Sulthan pun membebaskan Ibnu Taimiyyah dari penjara dan menyambutnya dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang. Lalu, Sulthan mengeluarkan surat yang berisi fatwa dari para petinggi ahlul bid’ah untuk membunuh Ibnu Taimiyyah, Sulthan sudah menyimpan dendam yang amat besar kepada Ibnu Taimiyyah dan berharap agar Ibnu Taimiyyah membalas dendamnya. Namun, Ibnu Timiyyah berkata “Aku faham maksud sang Sulthan, dan aku tau bahwa ia menyimpan dendam yang amat sangat besar karena mereka (para petinggi ahlul bid’ah) yang telah berkhianat dari nya dan membai’at Al-Jansyiinkir, maka akupun memulai memuji para petinggi itu dan menyebutkan jasa mereka terhadap Sulthan, bahwa seandainya mereka pergi maka sang Sulthan tidak akan mendapatkan petinggi-petinggi yang seperti mereka..”. Sang Sulthan berkata, “Para petinggi itu telah menyakitimu dan berulang-ulang berfatwa kepadaku untuk membunuhmu.”. Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa menyakitiku maka aku telah memaafkannya, dan barangsiapa yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya maka Allah akan membalasnya. Aku tidak akan membela diriku sendiri.”. Hingga pada akhirnya hilanglah segala kemarahan dan kedendaman Sulthan yang selama ini terpendam kepada Ibnu Timiyyah.
Itulah Ibnu Taimiyyah, yang berjiwa besar dan selalu mengambil tindakan tidak dengan hawa nafsu namun dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan berbekal keyakinan yang tinggi kepada Allah.
Seseorang yang ikhlas ialah yang bersikap sesuai dengan kehendak Allah. Inilah orang-orang yang berjiwa besar. Tidak seperti manusia biasa yang seringkali meluapkan kemarahannya dengan topeng membela agama. Allah memerintahkan depada kita untuk saling menyayangi dengan semua makhluk yang ada di bumi ini. Terlebih kepada sesama manusia. Karna bukankah seorang muslim yang terjerumus kedalam kemaksiatan juga masih saudara sesama muslim kita? Bukankah seorang saudara itu harus saling membantu saudara yang lainnya?
Dari kisah ini banyak sekali yang dapat kita ambil hikmahnya. Salah satunya makna kasih sayang karna Allah SWT. Terkadang kita tidak perlu membalas segala celaan bahkan kesakitan yang orang lain atau siapapun beri kepada kita. Tugas kita hanyalah mengasihinya, merahmatinya, menyayanginya dan selalu berbuat baik kepada nya. Biarlah Allah yang membalas segala perbuatannya.
Teruslah tebar kasih sayang dengan menebar kebaikan. Karna menebar kebaikan tidak selalu dengan limpahan materi, melainkan dengan kasih sayang dan canda tawa. Dalam sebuah kutipan mengatakan, “Jangan biarkan setiap orang yang datang padamu, pergi tanpa merasa lebih baik dan lebih bahagia. Jadilah ungkapan hidup dari kebaikan Tuhan. Kebaikan dalam wajahmu, kebaikan dalam matamu, kebaikan dalam senyummu. -Hamba Allah.”
Muhammad Rausan Fikri